SEJARAH SINGKAT

Sejarah Singkat Koperasi Taksi Indonesia

Pada tahun 1971 Gubernur DKI Jakarta (waktu itu Ali Sadikin) menetapkan ketentuan pengusahaan taksi diwilayah DKI Jakarta, selaras dengan Jakarta sebagai kota metropolitan. ketentuan ini sangat mempangaruhi iklim berusaha pemilik taksi “liar” atas nasib masa depan usaha mereka, berkaitan dengan ketentuan mengenai pembentukan Badan Usaha pertaksian minimal memiliki 100 unit  armada baru. Sedangkan pengusaha taksi “liar” umumnya memiliki 1 atau 2 buiah kendaraan taksi. Logikanya ketentuan ini hanya dapat dipenuhi oleh pengusaha modal besar, dan kesempatan memperoleh kredit Bank pada masa itu sangat sulit tanpa jaminan yang memadai.
Di sisi lain masyarakat pada masa itu kurang tertarik menggunakan taksi meter dan lebih cenderung mencari taksi “liar/gelap”. Karena terkesan memakai kendaraan dan sopir pribadi. kelompok pemilik taksi “liar/gelap” di Satsiun Gambir dan Bandar Udara Kemayoran menyambut gembira atas ketentuan pengusahaan taksi resmi ibukota, walaupun bagi mereka terdapat kesulitan mengadakan kendaraan baru minimal 100 buah, karena umumnya memiliki sebuah kendaraan tua.
 Dalam kondisi yang terdesak, sekelompok pengusaha kecil berupaya mencari jalan keluar guna kelanggengan masa depan usaha. Sehingga melalui  perembukan, disepakati membentuk wadah usaha sesuai kondisi : dipilih membentuk koperasi.
Ide pembentukan koperasi disambut para pengusaha taksi “liar/gelap” lainnya, sehingga dalam tempo singkat terkumpul lebih dari 200 orang peminat untuk menajdi anggota. Tiga bulan kemudian di tanggal yang sama dengan tanggal pendirian 16 Mei 1972, Badan Hukum Koperasi Taksi Indonesia mendapat pengesahan dari Pemerintah cq. Direktorat Koperasi DKI Jakarta, dengan Badan Hukum No. 964/B.H/I/Tanggal 16 Mei 1972 (sempat diperingati sebagai hari jadi Koperasi Taksi Indonesia).
Berita terbentuknya Koperasi Taksi Indonesia (KTI) tersebar luas di kalangan pengusaha “Taksi liar” dan mendorong keinginan mereka untuk berusaha dalam wadah yang resmi (legal),  sehingga mereka mendaftarkan diri menjadi anggota, hingga pada awal tahun 1973 keanggotaan mencapai 400 orang.
Patut diketahui, semasa pembentukan KTI iklim perkoperasian khususnya di sektor angkutan masih belum memasyarakat bahkan terkesan aneh. Mengingat image masyarakat dikala itu, bahwa koperasi hanyalah merupakan kegiatan usaha desa-desa hingga tidak heran adanya perasaan apriori terhadap lahirnya Koperasi Taksi Indonesia di ibukota, yang berwawasan metropolitan